Keberadaan Purwakarta tidak terlepas dari sejarah perjuangan melawan
pasukan VOC. Sekitar awal abad ke-17 Sultan Mataram mengirimkan pasukan
tentara yang dipimpin oleh Bupati Surabaya ke Jawa Barat. Salah satu
tujuannya adalah untuk menundukkan Sultan Banten. Tetapi dalam
perjalanannya bentrok dengan pasukan VOC sehingga terpaksa mengundurkan
diri.Setelah itu dikirimkan kembali ekspedisi kedua dari Pasukan Mataram di
bawah pimpinan Dipati Ukur serta mengalami nasib yang sama pula. Untuk
menghambat perluasan wilayah kekuasaan kompeni (VOC), Sultan Mataram
mengutus Panembahan Galuh (Ciamis) bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar
Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III untuk menduduki Rangkas
Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng
pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan.
Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian
kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah
menjadi Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa (Sunda:
“Karawaan”).
Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putera Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada tahun 1656. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putera Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara tahun 1679 dan 1721 ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang, dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah antara Cihoe (Cibarusah) dan Cipunagara. Pemerintahan Kabupaten Karawang berakhir sekitar tahun 1811 – 1816 sebagai akibat dari peralihan penguasaan Hindia-Belanda dari Pemerintahan Belanda kepada Pemerintahan Inggris.
Antara tahun 1819 – 1826 Pemerintahan Belanda melepaskan diri dari Pemerintahan Inggris yang ditandai dengan upaya pengembalian kewenangan dari para Bupati kepada Gubernur Jendral Van der Capellen. Dengan demikian Kabupaten Karawang dihidupkan kembali sekitar tahun 1820, meliputi wilayah tanah yang terletak di sebelah Timur kali Citarum / Cibeet dan sebelah Barat kali Cipunagara. Dalam hal ini kecuali Onder Distrik Gandasoli, sekarang Kecamatan Plered pada waktu itu termasuk Kabupaten Bandung. Sebagai Bupati I Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri yang kemudian memilih ibu kota Kabupaten di Wanayasa.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830 ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih. Hal ini berdasarkan dua alasan utama. Pertama, di Wanayasa sering terjadi gangguan keamanan akibat ulah kelompok perampok. Kedua, kota Wanayasa yang terletak di bagian selatan Karawang, kurang strategis sebagai pusat pemerintahan. Perpindahan ibukota kabupaten Karawang ke Sindangkasih, diperkirakan terjadi pada tahun 1830.
Sindangkasih memiliki makna yang mengacu pada arti kata sindang dan kasih. Dalam basa Sunda, sindang berarti mampir atau singgah; kasih (dari kata asih) berarti sayang atau cinta (Sunda : deudeuh, mikaresep). Sindangkasih dipilih menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang menggantikan kedudukan Wanayasa, berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan itu menyangkut beberapa faktor. Pertama, letak Sindangkasih cukup strategis bagi jalannya pemerintahan, karena berada di bagian tengah daerah Karawang. Kedua, tanahnya subur dan arealnya memungkinkan untuk dikembangkan. ketiga, memiliki sumber air, yaitu kubangan air yang kemudian dibangun menjadi Situ Buleud. Keempat, suhu udara di Sindangkasih cukup menyenangkan (berhawa sedang). Suhu udara demikian sangat disenangi oleh para pejabat kolonial, antara lain residen dan asisten residen. Kelima, keberadaan
Cikao sebagai pelabuhan sungai, adalah salah satu faktor penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat daerah setempat. Dengan kata lain, Kondisi Sindangkasih waktu itu dianggap lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi Wanayasa. Pertimbangan-pertimbangan itu memang sesuai dengan tradisi masyarakat Sunda waktu itu dalam menentukan tempat untuk pusat pemerintahan.
Sindangkasih sebagai ibukota Kabupaten Karawang diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2 (Lampiran 1), dengan nama baru, PURWAKARTA,
purwa dan karta dalam bahasa Sansakerta. Purwa berarti yang pertama, karta berarti aman tentram dan tertib atau ramai.
Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putera Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada tahun 1656. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putera Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara tahun 1679 dan 1721 ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang, dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah antara Cihoe (Cibarusah) dan Cipunagara. Pemerintahan Kabupaten Karawang berakhir sekitar tahun 1811 – 1816 sebagai akibat dari peralihan penguasaan Hindia-Belanda dari Pemerintahan Belanda kepada Pemerintahan Inggris.
Antara tahun 1819 – 1826 Pemerintahan Belanda melepaskan diri dari Pemerintahan Inggris yang ditandai dengan upaya pengembalian kewenangan dari para Bupati kepada Gubernur Jendral Van der Capellen. Dengan demikian Kabupaten Karawang dihidupkan kembali sekitar tahun 1820, meliputi wilayah tanah yang terletak di sebelah Timur kali Citarum / Cibeet dan sebelah Barat kali Cipunagara. Dalam hal ini kecuali Onder Distrik Gandasoli, sekarang Kecamatan Plered pada waktu itu termasuk Kabupaten Bandung. Sebagai Bupati I Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri yang kemudian memilih ibu kota Kabupaten di Wanayasa.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830 ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih. Hal ini berdasarkan dua alasan utama. Pertama, di Wanayasa sering terjadi gangguan keamanan akibat ulah kelompok perampok. Kedua, kota Wanayasa yang terletak di bagian selatan Karawang, kurang strategis sebagai pusat pemerintahan. Perpindahan ibukota kabupaten Karawang ke Sindangkasih, diperkirakan terjadi pada tahun 1830.
Sindangkasih memiliki makna yang mengacu pada arti kata sindang dan kasih. Dalam basa Sunda, sindang berarti mampir atau singgah; kasih (dari kata asih) berarti sayang atau cinta (Sunda : deudeuh, mikaresep). Sindangkasih dipilih menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang menggantikan kedudukan Wanayasa, berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan itu menyangkut beberapa faktor. Pertama, letak Sindangkasih cukup strategis bagi jalannya pemerintahan, karena berada di bagian tengah daerah Karawang. Kedua, tanahnya subur dan arealnya memungkinkan untuk dikembangkan. ketiga, memiliki sumber air, yaitu kubangan air yang kemudian dibangun menjadi Situ Buleud. Keempat, suhu udara di Sindangkasih cukup menyenangkan (berhawa sedang). Suhu udara demikian sangat disenangi oleh para pejabat kolonial, antara lain residen dan asisten residen. Kelima, keberadaan
Cikao sebagai pelabuhan sungai, adalah salah satu faktor penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat daerah setempat. Dengan kata lain, Kondisi Sindangkasih waktu itu dianggap lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi Wanayasa. Pertimbangan-pertimbangan itu memang sesuai dengan tradisi masyarakat Sunda waktu itu dalam menentukan tempat untuk pusat pemerintahan.
Sindangkasih sebagai ibukota Kabupaten Karawang diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2 (Lampiran 1), dengan nama baru, PURWAKARTA,
purwa dan karta dalam bahasa Sansakerta. Purwa berarti yang pertama, karta berarti aman tentram dan tertib atau ramai.