1. Umum
Peresmian oleh Presiden RI Kedua Jenderal Soeharto pada tanggal 26
Agustus 1967. Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan Bendungan
Ir. H. Djuanda hingga selesai adalah US$ 230 juta. Biaya ini meliputi
biaya dalam bentuk dolar dan rupiah.
3. Sungai Citarum
Bendungan adalah setiap penahan buatan,
jenis urugan batu atau jenis lainnya, yang menampung air atau dapat
menampung air baik secara alamiah maupun buatan, termasuk pondasi,
bukit/tebing tumpuan, serta bangunan pelengkap dan peralatannya. Dalam
pengertian ini termasuk juga bendungan limbah galian tetapi tidak
termasuk bendung dan tanggul. Dari segi konstruksi bendungan terdiri
dari bendungan urugan dan bendungan beton. Bendungan urugan terdiri dari
bendungan urugan serba sama (homogenous), bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di dalam tubuh bendungan (claycore rockfill dam, zone dam) dan bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka (concrete face rockfill dam). Sedang bendungan beton terdiri dari bendungan beton berdasar berat sendiri (concrete gravity), bendungan beton dengan penyangga (buttress dam), bendungan beton berbentuk lengkung (concrete arch dam), dan bendungan beton berbentuk lebih dari satu lengkung (multiple arch dam) (sumber KNI-BB). Berdasarkan ukurannya Bendungan Jatiluhur termasuk ke dalam bendungan besar.
Air yang ditampung akibat dibangunnya
bendungan biasanya digunakan untuk irigasi, pasok air baku untuk air
minum, industri dan perkotaan, perikanan serta pembangkitan listrik.
Manfaat lain bendungan adalah untuk pengendalian banjir dan pariwisata.
Disamping untuk menampung air, bendungan juga dibangun untuk menampung
material lain, seperti buangan / limbah pertambangan dan lahar dingin.
Bendungan untuk menahan lahar dingin disebut juga bendungan sabo (sabo dam).
Setelah perang Dunia Kedua, terkait
dengan peningkatan populasi yang tajam, kebutuhan pangan dan listrik,
baik untuk rumah tangga maupun industri, meningkat pesat. Pemerintah
Indonesia memutuskan untuk melaksanakan pembangunan bendungan besar di
utara Provinsi Jawa Barat, untuk memenuhi penyediaan pangan dan listrik
tersebut.
Selama masa pelaksanaan, proyek pembangunan ini dinamakan “Jatiluhur Multipurpose Project”
dan setelah penyelesaiannya dinamakan menjadi Bendungan dan Pembangkit
Listrik Juanda, sebagai kenang-kenangan atas peran Perdana Menteri
terakhir Indonesia Ir. H. Djuanda dalam terwujudnya pembangunan
Bendungan Jatiluhur.
Pada dasarnya proyek pembangunan
Bendungan Jatiluhur dibuat untuk keperluan irigasi dan listrik, namun
memiliki tujuan lainnya, yakni pasok air baku, pengendalian banjir,
penggelontoran kota, perikanan darat, dan pariwisata.
2. Lokasi Bendungan Jatiluhur
Bendungan Jatiluhur berjarak
kurang lebih 100 km arah Tenggara Jakarta, yang dapat dicapai melalui
jalan tol Jakarta Cikampek dan jalan tol Cipularang (ruas Cikampek –
Jatiluhur), dan 60 km arah Barat Laut Bandung, yang dapat dicapai
melalui jalan tol Cipularang (ruas bandung – Jatiluhur). Dari Kota
Purwakarta sekitar 7 km arah barat. Berdasarkan koordinat geografis,
posisi Tubuh Bendungan Jatiluhur berada pada 6o31’ Lintang Selatan dan 107o23’ Bujur Timur. Kotak merah pada gambar kiri menunjukkan posisi Bendungan Jatiluhur pada peta.
Bendungan
Jatiluhur merupakan bendungan terbesar di Indonesia, membendung aliran
Sungai Citarum di Kecamatan Jatiluhur – Kabupaten Purwakarta – Provinsi
Jawa Barat, membentuk waduk dengan genangan seluas ± 83 km2
dan keliling waduk 150 km pada elevasi muka air normal +107 m di atas
permukaan laut (dpl). Gambar 3-5 adalah denah area Waduk Jatiluhur
sebelum dan sesudah penggenangan. Luas daerah tangkapan Bendungan
Jatiluhur adalah 4.500 km2. Sedangkan luas daerah tangkapan
yang langsung ke waduk setelah dibangun Bendungan Saguling dan Cirata di
hulunya menjadi tinggal 380 km2, yang merupakan 8% dari keseluruhan daerah tangkapan. Daerah tangkapan (upper
Citarum) meliputi wilayah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat,
Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta.
Pada Awalnya dirancang memiliki kapasitas tampungan 3 milyar m3, namun saat ini tinggal 2,44 milyar m3
(hasil pengukuran batimetri tahun 2000) akibat sedimentasi. Namun
demikian setelah dibangun Bendungan Saguling dan Cirata di atasnya, laju
sedimentasi semakin menurun. Bendungan Jatiluhur merupakan bendungan
multiguna, dengan fungsi sebagai pembangkit listrik dengan kapasitas
terpasang 187,5 MW, pengendalian banjir di Kabupaten Karawang dan
Bekasi, irigasi untuk 242.000 ha, pasok air untuk rumah tangga, industri
dan penggelontoran kota, pasok air untuk budidaya perikanan air payau
sepanjang pantai utara Jawa Barat seluas 20.000 ha, dan pariwisata.
Bendungan ini mulai dibangun pada tahun 1957 ditandai dengan peletakkan
batu pertama pembangunan oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno. Tanggal
19 September 1965 merupakan kunjungan terakhir Ir. Soekarno ke
Bendungan Jatiluhur, yakni sebelas hari sebelum pecahnya peristiwa G 30 S
PKI. Pada kesempatan tersebut sempat dilaksanakan Sidang Kabinet
Dwikora.Gambar 3: Denah Area Bendungan Ir. H. Djuanda Sebelum Penggenangan |
Gambar 6 : Peresmian Konstruksi Bendungan Jatiluhur. (Sumber: Menyimak Bendungan di Indonesia (1910 – 2006) KNI-BB, Yayasan Kilas Teknologi Konstruksi Indonesia) |
Gambar 7: Kunjungan terakhir Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, ke Bendungan Jatiluhur |
Gambar 8 : Pegawai dan masyarakat Menyambut kedatangan Presiden Pertama RI,. Soekarno |
Terlihat dalam gambar 9, Ibu Tien
Soeharto sedang melakukan pengguntingan pita sebagai tanda diresmikannya
Bendungan Jatiluhur. Foto di bawah ini memperlihatkan Presiden Pertama
RI Jenderal Soeharto sedang berada di Gedung Istora dan kemudian
berjalan menuju ke arah Hotel Pasanggrahan. Lokasi ini berada di
semenanjung bagian udik Bendungan Jatiluhur (dekat bukit tumpuan kanan).
|
Gambar 10: Presiden Soeharto sedang menikmati hidangan di Gedung Istora |
Gambar 11: Presiden Soeharto, berjalan menuju Hotel Istora |
Untuk mengenang jasa Ir. H. Djuanda (nama
lengkap Ir. H. R. Djoeanda Kartawidjaja) dalam memperjuangkan
pembiayaan pembangunan Bendungan Jatiluhur, bendungan ini dinamakan
secara resmi Bendungan Ir. H. Djuanda. Beliau adalah Perdana Menteri RI
terakhir dan memimpin kabinet Karya (1957 – 1959). Ir H Djuanda
Kartawidjaja, lulusan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) –
sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sebelumnya pernah
menjabat menteri di antaranya Menteri Perhubungan, Pengairan,
Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beliau bersama-sama dengan Ir.
Sedijatmo dengan gigih memperjuangkan terwujudnya proyek Jatiluhur di
Pemerintah Indonesia dan forum internasional. Pada kunjungan terakhirnya
Ir. Soekarno menyampaikan perintah untuk menyelesaikan pembangunan
Bendungan Jatiluhur pada akhir April 1966, namun tidak terlaksana karena
pemberontakkan G 30 S PKI.
|
Gambar 13: Kunjungan Wakil Presiden Drs. Moch. Hatta di Bendungan Jatiluhur tanggal 25 September 1956 |
Sebagai sungai terpanjang dan terbesar di
Jawa Barat, mengalir sepanjang lebih kurang 270 km dari mata air di
Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, sampai muaranya di Laut Jawa dengan
melalui Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Purwakarta, membagi daerah administrasi Kabupaten Karawang dan
Kabupaten Bekasi dari Kedung Gede ke hilir dan berakhir dari Muara
Gembong sebagai muara Sungai Citarum ke Laut Jawa. Sungai Citarum
memiliki volume aliran tahunan rata-rata 5,5 milyar m3, luas DAS 6.600 km2. Memiliki tinggi curah hujan tahunan rata-rata 2.353 mm, dengan 80% hujan jatuh pada periode November – Mei.
Sungai Citarum dengan beberapa sungai
lainnya di Jawa Barat bagian utara, yaitu: Ciherang, Cilamaya,
Cijengkol, Ciasem, Cigadung, Cipunegara, dan Cilalanang membentuk suatu
wilayah hidrologis yang terintegrasi, dengan satuan hidrologis seluas
1.100.000 ha. Gambar di bawah ini adalah Mata Air Pangsiraman, yakni
salah satu dari tujuh mata air Sungai Citarum yang berada di Gunung
Wayang – Ciwidey. Nama keenam mata air Sungai Citarum lainnya adalah
Cikahuripan, Cikawedukan, Cisanti, Cikaloberes, Cisadane/Cihaliwung dan
Cikadugalan/Cipaedah. Ketujuh mata air ini berada pada area Situ Cisanti
yang memiliki ketinggian +2.180 m dpl.
Gambar 14: Foto Mata Air Pangsiraman |
Gambar 15 di bawah ini adalah Foto Udara
Muara Gembong, yakni salah satu dari tiga muara Sungai Citarum yang
berada di Kabupaten Bekasi. Dua muara lainnya adalah Muara Karawang dan
Muara Bungin yang berada di Kabupaten Karawang.
Pada tahun 1984 dan 1987 beroperasi 2
buah bendungan besar di hulu Bendungan Ir. H. Djuanda, yakni Bendungan
Saguling dan Bendungan Cirata. Dengan dibangunnya kedua bendungan
tersebut, kapasitas tampungan keseluruhan menjadi sama dengan aliran
tahunan Sungai Citarum.
4. Gagasan Pembangunan Bendungan Jatiluhur
Gagasan pembangunan bendungan di Sungai
Citarum dudah dimulai pada abad ke-19 oleh para ahli pengairan pada
waktu itu dengan telah dilakukannya survey awal antara lain survey
topografi dan hidrologi. Bahkan pengukuran debit Sungai Citarum untuk
keperluan bendungan dan irigasi telah di mulai pada tahun 1888.
Gagasan pembangunan tersebut kemudian
dikembangkan dan disempurnakan oleh Prof. Dr. Ir. W.J. van Blommestein,
seorang ahli pengairan Belanda pada tahun 1930. Gagasan ini untuk
pertama kali dipresentasikan pada pertemuan tahunan Persatuan Insinyur
Kerajaan Belanda (Koninklijk Instituut van Ingenieurs atau KIVI) tanggal
18 Desember 1948 di Jakarta dengan judul “Een Federaal Welvaartsplan voor het Westelijk Gedeelte van Java”.
Ketika itu, Prof. Ir. W.J. van Blommestein, Kepala Perencanaan Jawatan
Pengairan Belanda, sudah melakukan survey secara lebih rinci untuk
membuat rencana pembangunan tiga waduk besar di sepanjang aliran sungai
Citarum; Saguling (sebelumnya dinamakan Waduk Tarum oleh Prof. Ir. W.J.
van Blommestein), Cirata dan Jatiluhur.
Selanjutnya Prof. W.J. van Blommestein
sampai kepada sebuah gagasan dimana selain potensi tiga waduk di Sungai
Citarum, juga ada potensi pengembangan antar Daerah Aliran Sungai (DAS)
untuk sungai-sungai di Pulau Jawa, yang dikenal dalam tulisannya
berjudul “A Development Project for the Island of Java and Madura”
pada Agustus 1979. Gagasannya waktu itu adalah Jatiluhur hanya
dikembangkan untuk kepentingan irigasi dan pembangunan kanal untuk
transportasi air dari Anyer sampai Surabaya melewati Solo.
Prof. Ir. Wilem Johan van Blommestein
lahir di Kertasura Kota Solo tanggal 15 Mei 1905 dan meninggal pada
tanggal 11 Agustus 1985. Kuliah di Institut Teknologi Bandung pada tahun
1924 dan lulus dengan mendapar gelar insinyur pada tahun 1928. Pada ini
juga beliau langsung ditugaskan ke wilayah afdeling Karawang. Setahun
kemudian beliau pindah ke Purworejo, bekerja sebagai insinyur dibidang
keirigasian. Tahun 1931 sampai 1934 beliau bertugas di Yogyakarta.
Karya lainnya adalah salah satu bendungan
terbesar di dunia yang dibangun di Suriname, yang kemudian diberi nama
Bendungan Blommestein. Bendungan ini memiliki luas genangan 1.560 km2, dengan tinggi 54 m. Panjang puncak bendungan keseluruhan 12.000 m. Luas daerah tangkapan 12.000 km2. Bendungan mulai dibangun tahun 1960 dan selesai tahun 1964.
Gagasan Prof. Dr. Ir. W.J. van Blommestein kemudian dikaji ulang oleh Ir. Van Scravendijk tahun 1955 dengan tulisan berjudul “Integrated Water Resources Development in Citarum River Basin”
(240,000 ha sawah). Gagasan ini kemudian dilengkapi oleh Ir. Abdullah
Angudi tahun 1960 melalui nota pengelolaan sehingga menjadi Rencana
Induk Pengembangan Proyek Serbaguna Jatiluhur.
Gagasan untuk membangun sebuah bendungan
di aliran sungai Citarum dirintis kembali pada era tahun 1950-an. Ir.
Agus Prawiranata sebagai Kepala Jawatan Irigasi waktu itu mulai
memikirkan pengembangan jaringan irigasi untuk mengantisipasi kecukupan
beras dalam negeri. Ketika itu, Indonesia sudah menjadi negara pengimpor
beras terbesar dunia. Namun untuk membangun bendungan dengan skala
besar, ketika itu masih menjadi bahan tertawaan, karena Pemerintah RI
belum punya uang.
Lalu ide ini dibahas bersama Ir.
Sedyatmo, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Direksi Konstruksi
Badan Pembangkit Listrik Negara, Direktorat Jenderal Ketenagaan,
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Kebetulan waktu itu PLN
punya anggaran dan memang sedang berupaya mencari pengganti sumber daya
listrik yang masih menggunakan minyak, karena memang mahal. Lalu, Ir.
Sediyatmo menugaskan Ir. P.C. Harjosudirdjo (sekarang; Prof. DR. Ir.
P.K. Haryasudirja) ketika itu sebagai Asisten Kepala Direksi Konstruksi
PLN, untuk merancang Bendungan Jatiluhur ini.
Sebelum pembangunan Bendungan Jatiluhur,
bagian utara Provinsi Jawa Barat telah dibangun beberapa prasarana
sumber daya air, seperti Bendung Walahar, Pundong, Salamdarma, Barugbug
dan sebagainya. Namun masing-masing prasarana sumber daya air tersebut
belum terintegrasi dan sebagaimana fungsi bendung, tidak dapat menampung
air dimusim hujan sehingga pada musim hujan selalu banjir dan
kekeringan pada musim kemarau. Intensitas tanam (crop intensity)
hanya 1, yakni 1 kali tanam setahun. Kemudian daerah pertanian tersebut
sebagian besar dikuasai para tuan tanah, dan petani sebagian besar
adalah penggarap yang tidak memiliki tanah.
Hal penting yang juga menjadi
pertimbangan saat itu, menurut Prof. DR. Ir. P.K. Haryasudilja, ketika
itu sebagai Asisten Urusan Jatiluhur yang menangani urusan perencanaan
maupun pelaksanaan pembangunannya, adalah pertimbangan suplai air ke
Jakarta. Ketika itu pelabuhan Tanjung Priok tak pernah disinggahi
kapal-kapal asing, karena tidak cukup air untuk perbekalan kapal.
Sehingga kegiatan ekspor-impor dari Tanjung Priok tersendat.
Haryasudirja yang membuat spesifikasi bendungan Jatiluhur, mengaku
meniru gaya bendungan terbesar di dunia, yaitu bendungan Aswan di Mesir.
Menggunakan konsultan dari Perancis yang sudah berpengalaman dalam
membangun bendungan besar.
5. Masa Pembangunan Bendungan Jatiluhur
Masa pembangunan Proyek Jatiluhur juga
unik, sebab sempat mengalami sembilan kali pergantian kabinet dari
Kabinet Karya Tahun 1957 sampai Kabinet Ampera Tahun 1967.
Menteri-menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga
pada masa pembangunan Bendungan Jatiluhur adalah Ir. Pangeran Mohamad
Noor, Ir. Sardjono Dipokusumo, Mayjen D. Suprayogi, dan Dr. Ir. Sutami.
Tahun 1965 Menteri PUT dalam kompartemen Pembangunan Mayjen D. Suprayogi
membawahi 6 kementerian yaitu: Kementerian Listrik dan Tenaga Ir.
Setiadi Reksoprodjo, Menteri Pengairan Dasar Ir. Petrus Kanisius
Hardjosudirdjo, Menteri Binamarga Mayjen Hartawan Wirjodiprodjo, Menteri
Ciptakarya dan Konstruksi David Cheng, Menteri trans Sumatera Ir.
Bratanata dan Menteri Negara diperbantukan pada Menteri Koordinator
Pekerjaan Umum dan Tenaga Ir. Sutami.
Hal yang perlu dicatat dari periode
pembangunan ini adalah Perancis tidak pernah menyelesaikan pembangunan
Bendungan Jatiluhur. Pada tanggal 15 Oktober 1965, yakni 15 hari setelah
pecah G 30 S PKI, para tenaga ahli asing kembali ke negaranya. Pada
saat itu sebagian konstruksi menara pelimpah utama bagian atas belum
selesai dan Bendungan pelana Pasirgombong Barat dan timur sama sekali
belum dibuat. Penyelesaian pekerjaan yang tersisa tersebut dilaksanakan
secara swakelola oleh tenaga ahli dari Indonesia dengan memanfaatkan
peralatan yang ditinggalkan.
Namun demikian pada saat peresmian
Bendungan Jatiluhur oleh Presiden Soeharto, pekerjaan masih belum
selesai seratus persen. Pelimpah pembantu (auxiliary) yang berada di
tumpuan kiri Bendungan Pelana Ubrug belum sesuai dengan rencana awalnya,
yakni penggunaan pintu radial pada kedua jendelanya. Hal ini disebabkan
biaya untuk penyelesaian tidak tersedia lagi.
Agar Bendungan Jatiluhur dapat beroperasi
sesuai rencana, pada keempat jendela pelimpah pembantu Ubrug dibuat
beton lunak lengkung yang puncaknya mencapai elevasi +111,6 m, yakni
elevasi banjir maksimum. Pelimpah pembantu Ubrug dioperasikan dengan
cara meledakkan beton lunak lengkung. Namun demikian selama operasi
Bendungan Jatiluhur, pelimpah pembantu tersebut belum pernah
dioperasikan.
Berikut adalah tenaga ahli/insinyur periode awal pembangunan Bendungan Jatiluhur:
- Ir. Patti (tidak sampai selesai)
- Ir. Masduki Umar
- Ir. Ahmad Musa
- Ir. Donardi Senosarto
- Ir. Sutopo
- Ir. Sudarjo
- Ir. Asban Basiran (saat ini masih membantu Direksi PJT II sebagai Tenaga Senior dibidang Bendungan)
- Ir. Samsiar
6. Demografi Daerah Genangan
Genangan yang terjadi akibat pembangunan
Bendungan Jatiluhur menenggelamkan 14 Desa dengan penduduk berjumlah
5.002 orang. Penduduk tersebut kemudian sebagian dipindahkan ke daerah
sekitar bendungan dan sebagian lainnya pindah ke Kabupaten Karawang.
Sebagian besar penduduk waktu itu bekerja sebagai petani.
7. Produksi Listrik
Produksi listrik pertama
dimulai pada tahun 1965 dan disalurkan ke Bandung melalui Saluran udara
tegangan tinggi 150 kV milik PLN. Penyaluran ke Jakarta baru dilakukan
pada tahun 1966. PLTA unit VI baru dipasang oleh PT. PLN Pikitdro Jabar
antara tahun 1979 – 1981 dengan kapasitas 32 MW.